Newspaper





Tittle : Newspaper || Cast : Do Kyungsoo and Oh Sehun || Genre : Brothership and Sad || Length : Drabble || Rating : T || Author : K-Writer


---o0o---


[Kyungsoo POV]


Kubenarkan letak kacamata yang sempat merosot dari hidungku. Tubuh yang terbalut pakaian SMA, sepatu usang yang mungkin sudah kupakai kurang lebih dari dua tahun, dan kembali lagi ke kacamata tebal yang selalu menjadi teman untukku melihat jendela dunia.


Aku hanya seorang pelajar Sekolah Menengah Atas, yang selalu disibukkan oleh rutinitas pelajar sebagaimana mestinya. Tidak, mungkin aku terlalu over. Sejarah, fisika, kimia, sastra, konseling, biologi, ekonomi, geografi, matematika, semuanya harus bisa aku kuasai. Dasar kutu buku!


Demi membahagiakan ibu di rumah, aku akan menjadi orang sukses untuk ke depannya. Merubah takdir yang Tuhan tetapkan kepada kami. Uhm, aku hanya seorang anak dari wanita yang sering keluar malam dan pulang dalam keadaan mabuk bersama pria-pria berkepala tiga sampai empat tanpa ada rasa malu.


“Kakak, mau beli koran?” seorang anak yang kuhipotesis berumur delapan tahunan membuyarkan lamunanku. Aku yang terduduk di halte bus sedikit menoleh ke arahnya. Memperhatikan tubuh kecinya dengan pakaian kumuh yang sudah tidak layak pakai serta tidak memakai alas kaki. Kepalaku kembali terangkat menatap wajahnya yang tersenyum berseri-seri.


“Uhm, maaf.” Aku menolak dengan pelan. Ia tak merespon walaupun sedetik kemudian senyumnya ikut memudar.


Bocah itu memutarkan tubuhnya beranjak pergi dengan lesu. Masih kuperhatikan dirinya yang terus saja menjajakkan koran ke lalu-lalang orang-orang. Huh, tidak ada yang berniat membeli korannya sama sekali. Bahkan orang-orang justru menatapnya risih dan ada juga yang mengusirnya.


“Kehidupan itu kejam.” Lirihku.


Aku beranjak saat melihat bocah itu hampir hilang di ujung lorong. Entah ada angin apa, aku sangat kasihan ke bocah itu. Dirinya masih terlalu dini untuk merasakan kejamnya kehidupan. Yang mempunyai harta dan tahta, itulah yang di atas. Sedangkan orang-orang seperti kami, terpendam  dalam tanah dan harus berusaha keluar dengan sendirinya.


Ekor mataku menangkap siluet bocah itu di lorong kecil –sedikit gelap dan sepi–. Ia meringkuk memegangi perutnya dengan koran yang berada di dekapannya. Oh, hati nurani mulai terketuk.


“Hei, adik kenapa?” aku menghampirinya dan langsung menanyakaan keadaan bocah itu. Ia mendongak, matanya menyipit dengan masih memegangi perutnya. Ia meringis perih.


“Aku lapar, kak.” Jawabnya.


“Memang adik tidak makan? Rumah adik dimana? Biar kakak antar.” Ajakku melihat tubuhnya yang mulai bergetar. Padahal baru beberapa menit tadi, ia tersenyum cerah saat menawarkan koran-korannya. Keadaan yang sekarang benar-benar berbeda.


“Jangan, kak. Aku tidak mau pulang. Aku tidak boleh pulang sebelum koran-koran ini habis.” Bocah itu berujar parau.


“Siapa yang bilang begitu?”


“Ibuku.”


Hatiku terenyuh. Sosok lembut yang melahirnkan anaknya bertaruh nyawa, dengan teganya melakukan ini. Aku tidak kaget, aku juga merasakannya walaupun dalam segi yang berada. Di sisi lain mereka adalah ibu kami, tapi kamilah sebagai anak yang harus merasakan kenyataan pahitnya.


Aku menghela napas panjang sambil mengelus kepalanya pelan.

“Ini ambil.” Aku menyodorkan sebagian uang saku–ah... tidak, uang hasil kerja paruh waktuku semalam di kedai makanan. 


Bocah itu sedikit mendelik lalu kembali tersenyum cerah. Kurasa ia senang.

“Terima kasih, kak. Uhm, kakak ingin koran yang mana? Mau berita tentang olahraga? atau berita terkini? Ayo dipilih saja, kak.” Bocah itu langsung memilah-milah koran yang ada di dekapannya. Senyuman lebarnya yang terkesan polos membuatku prihatin bukan main.


Kehidupanku jauh lebih beruntung darinya. Paling tidak saat kecil, aku masih merasakan yang namanya kasih sayang orang tua. Ya, walaupun sekarang seperti ini, Ibu berubah saat Ayah meninggal sejak empat tahun silam. Di situlah kehidupanku mulai berubah.


“Tidak usah, kakak ikhlas memberikannya untukmu.” Tolakku mencegah tangannya yang sibuk memilih koran-koran. Aku tersenyum melihat wajah polosnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.


“Tidak, kak. Kakak harus membelinya. Walaupun aku masih kecil, aku tahu. Saat orang lain melihat kondisi orang sepertiku dan memberi sesuatu secara cuma-cuma, itu namanya rasa kasihan. Aku menjual koran, kak. Bukan pengemis.” Ujaran bocah itu membuat hatiku kembali goyah. Sungguh, rasanya aku ingin menangis.


“Jika kakak tidak mau membelinya, kakak tidak usah memberiku ini. Lebih baik aku mati kelaparan daripada dikira pengemis.” Lanjut bocah itu kembali menyodorkan uang yang tadi aku berikan.


Aku menghela napas panjang.

“Baiklah, kakak minta koran dengan berita paling terbaru.” Ujarku mengalah. Ia kembali sibuk dengan koran-korannya, lalu tersenyum setelah mendapatkan beberapa koran yang kupinta.


“Ini, kak. Terima kasih. Paling tidak beberapa koran berkurang dan membuatku bisa lebih cepat pulang. Semoga hari kakak menyenangkan.” Ia kembali bersemangat dengan menyunggingkan senyum tipis. Lalu memutar tubuhnya, berniat untuk berjalan pergi.


“Tunggu! Siapa nama, adik? dan berapa umur, adik?” aku mencegahnya sebelum ia benar-benar menjauh. Nampak ia berbalik dan kembali menunjukkan senyuman andalannya.


“Oh Sehun! Umurku sembilan tahun.” Bocah itu setengah berteriak lalu melambaikan tangannya. Akupun membalasnya.


“Oh Sehun. Seorang bocah sembilan tahunan yang sangat mematuhi perkataan ibunya. Dengan koran yang ada di dekapannya, ia menyambung hidup. Dengan senyuman polosnya, ia berusaha menerima kenyataan. Dengan ucapan kekanak-kanakannya, ia terlihat dewasa. Aku berdo’a, agar Oh Sehun mendapat tempat yang lebih sepantasnya di hari nanti.”


FIN~


2 komentar:

  1. Bagus banget fanfictnya. Aku suka♡ ayo bikin lagiii~ kok gak update update lagi? Semangat author!~ banyakkin fanfict tentang oh sehun lagi ya♡ maaf siders! Fighting~

    BalasHapus
  2. hunsoo kyaaaaa aku sukaaa, brothership'y ngena bgt. Authornim, bikin ff dengan cast mereka lagi....

    BalasHapus