Tittle : Mr. Bell
|| Cast : Kim Joonmyeon, Shin Eunmi, Kim Jongdae || Rating : T || Genre : Sad,
Hurt, Angst || Length : Oneshot || Author : K-Writer / @lexuzen_s4
Recommended Song :
-----o0o-----
Aku bertemu dengannya dalam ikatan takdir,
Karena turunnya jutaan air suci dari langit...
Mencintainya dalam satu genggaman,
Karena kehangatan tangannya yang kurasakan...
Selalu bersamanya dalam satu waktu,
Karena hatiku yang selalu memintanya...
Mengejarnya dalam ruang keheningan,
Karena suara lonceng memberikanku harapan...
-Kim Joon Myeon-
***
Mentari sang surya mulai meredup perlahan. Mendung
datang, bergantung di langit yang tadinya biru laksana samudera di angkasa.
Menyembunyikan sinar kehidupan cemerlang untuk semua makhluk di bumi yang kita
pijak.
Percikan air yang timbul membuat beberapa orang di
pinggir jalan kota Seoul berlarian mencari tempat bernaung. Sekedar mencari
tempat yang aman agar pakaiannya tidak basah, ulah jutaan air yang siap
meluncur bebas sepersekian detik lagi.
Seorang wanita bersurai panjang, berkulit putih semulus
porselen dan berparas cantik tengah berjalan dengan lambannya. Bermodal tongkat
stainless yang ada digenggamannya, ia berusaha memperkirakan sesuatu yang ada
di depannya. Langkahnya yang hati-hati namun terkesan buru-buru terlihat dari
raut wajahnya. Sepertinya ia akan kehujanan saat ini juga.
Grep~
Tangan besar seorang pria meraih pergelangan tangan kanan
si wanita. Membawanya bernaung ke tempat yang lebih baik daripada harus
bersimpuh dengan air hujan yang sudah mulai turun deras. Halte yang didapati
beberapa orang menjadi tempat kedua insan itu berlindung. Dengan tangan yang
masih bertaut, debaran jantung rasanya memompa lebih cepat. Membuat si pria
segera melepaskan sumber kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Terima kasih banyak, Tuan.” Ucap si wanita dengan
tatapan kosongnya tapi diiringi senyuman yang sangat manis di mata si pria.
Tak ada jawaban.
“Cantik. Kau benar-benar cantik.” Ujar si pria dalam
lubuk hatinya.
“Maaf, Tuan. Apakah kau masih di sini?”
Tak ada jawaban.
“Nde. Aku masih di sini. Masih menatap wajah cantikmu.”
Batin si pria menyimpulkan senyum tipis.
“Sudah pergi?” tutur si wanita pelan bertanya pada
dirinya sendiri.
Tak ada jawaban.
“Belum. Aku masih di sini. Dihadapanmu persis.” Batin si
pria beralih ke senyuman miris. Ini cerita yang begitu tragis.
Grep~
Tangan pria itu kembali bertaut dengan pergelangan si
wanita. Menuntunnya ke bangku halte kosong di belakang mereka berpapasan.
Wanita itu bisa merasakan, ini tangan orang yang menolongnya tadi. Tangan pria,
ia yakin ini tangan pria. Tapi, kenapa hangat sekali. Enggan rasanya untuk
melepaskan.
“Oh, belum pergi? terima kasih sekali lagi, Tuan.” Tutur
wanita itu lembut saat mereka berdua telah duduk dengan tangan yang masih
bertaut. Entah sadar atau tidak, tapi keduanya menyukai ini. Gila mungkin! mereka
baru saja bertemu satu menit yang lalu.
Tak ada jawaban.
“Apakah Tuan baik-baik saja?” Ingin menangis memang. Tapi
ini sudah takdir, sekuat apapun berusaha, si pria akan selalu terjebak dalam
ruang keheningan.
Tak ada jawaban.
Dengan tangan kanan yang saling bertaut dan tangan kiri
yang bebas bisa melakukan apa saja, si pria mendekatkan pergelangan tangan
kirinya ke indera pendengaran si wanita. Sedikit menggoyangkan-goyangkan lengannya
yang membuat tali dengan bandul lonceng kecil yang melingkar di pergelangannya
membuncah.
Ting! Ting! Ting!
Tertangkap jelas di gendang telinga si wanita, suara
kecil namun halus menjadi satu dengan gemercik air hujan. Tidak indah memang,
tapi itu membuat si wanita tersenyum tipis. Begitu pula si pria yang sudah
kembali dengan senyuman bahagianya.
Ting! Ting! Ting!
“Suara lonceng?”
Ting! Ting! Ting!
Lagi dan lagi, suara itu membuat si wanita tersenyum
lebar. Ia tak pernah tahu orang macam apa di hadapannya ini. Yang jelas, ia
menyukai orang ini. Tak ada alasan untuk tidak menyukainya. Itulah yang
dipikirkan si wanita saat ini.
“Terima kasih untuk yang tadi, Tuan.” Ucap si wanita agak
menaikkan nada bicaranya karena deru rintik air hujan semakin membesar.
Ting! Ting! Ting!
Suara lonceng itu... menurut si wanita adalah isyarat
lain dari kata “ya”. Lagi, dia tersenyum sangat manis yang mampu membuat
jantung si pria mungkin berhenti memompa sekarang juga.
“Siapa nama Tuan? namaku Eunmi. Shin Eunmi.”
Tak ada jawaban.
“Namaku Kim Joonmyeon, Eunmi-ssi.” Jawab si pria dalam
hati. Tak ada sedikitpun suara yang mampu ia keluarkan. Hanya sebuah lonceng yang
bisa menjawab semua perkataan si wanita.
Ting! Ting! Ting!
“Ah... aku akan memanggil Tuan... Tuan lonceng saja,
bagaimana?” usul si wanita dengan menampilkan eyes smile kepunyaannya. Membuat
jantung si pria yang tadinya berhenti, mungkin akan meledak saat ini juga.
Begitu maniskah?
***
Dia, cinta
pertamaku...
Dia, membuat
hatiku berguncang luar biasa...
Dia, membuat
hariku lebih berwarna...
Dia, membuat
hidupku dipenuhi dengan jutaan cinta...
Dia, memanggilku Tuan
Lonceng...
Dalam kebisuan
yang menjadi penghalang...
Dalam kebutaan
yang menyulitkan dirinya...
Dalam suara kecil
lonceng yang menjadi penghubung...
Tersimpan rasa
kasih yang teramat dalam...
Satu menit yang
berharga dalam hidupku...
-Kim Joon Myeon-
“Yayaya... apa yang sedang dilakukan hyeong tampan-ku ini?!” sergah seorang
pria dengan tiba-tiba. Membuat pria yang tengah duduk merangkai beberapa patah
kata di meja pijarnya cukup terkejut.
“Astaga! hyeong-ku sedang jatuh cinta!” pekik Jongdae –adik pria– itu tak
percaya sekaligus kaget.
Puk~
Satu jitakan mendarat sempurna di kepala sang adik. Joonmyeon –sang kakak– segera menutup dan menyimpan buku harian yang
isinya mungkin telah di ketahui oleh Jongdae. Dirinya segera menatap tajam
Jongdae menyiratkan rasa kesalnya saat ini. Seolah ia berkata “jangan berbicara yang tidak-tidak!”.
Joonmyeon berlalu dari adiknya dan segera membaringkan tubuhnya di atas
ranjang. Dengan cepat dan cekatan, Jongdae-pun ikut melakukan hal yang sama.
Jitakan dan tatapan tajam tak akan mempan untuk pria bersuara melengking itu.
“Hyeong, ceritakan dia! Bagaimana wajahnya? apakah cantik? sejak kapan kau
bertemu dengannya? Ahh... seminggu belakangan ini kau sering senyum-senyum
sendiri dan pulang telat sehabis kuliah. Apakah...” cerocos Jongdae panjang
lebar.
Puk~
Genap dua jitakan telah mendarat di bagian kepala Jongdae. Tak mudah
menyerah, Jongdae masih tetap kukuh kependiriannya. Menguak kisah cinta macam
apakah yang dialami kakak sulung satu-satunya.
“Ayolah, hyeong! kau tidak ingin aku tidak bisa tidur karena penasaran,
bukan?”
Joonmyeon bangun dari pembaringannya diikuti Jongdae setelahnya. Sang kakak
masih menatap tajam sang adik yang kini malah mengeluarkan puppy eyes menjijikan di mata Joonmyeon.
Joonmyeon menghela napas sejenak. Dengan berat hati, kedua tangannya mulai
meleak-leok membuat gerakan runtut –bahasa isyarat–. Bahasa yang mungkin sangat
sulit dimengerti oleh orang biasa. Ingat! Jongdae itu adiknya, dan ia paham apa
maksud dari kakaknya.
“Benarkah dia cantik?”
“Bertemu di halte depan kampusmu seminggu yang lalu?”
“Matanya tidak terlalu bulat, tidak terlalu sipit? tingginya berkisar 165
cm? punya eyes smile? kulitnya
seputih milikmu? rambutnya coklat dan lurus? aisshh... kau membuatku cemburu,
hyeong.” Celetuk Jongdae bertubi-tubi saat memahami pengisyaratan Joonmyeon.
“Kuakui kau memang tampan, hyeong. Apakah dia sangat terpesona dengan
karisma-mu? Apa kau benar-benar menyukainya? kalau begitu cari tahu apakah dia
menyukaimu juga? Apa dia...” sambung Jongdae sarkatis. Adik yang cerewet dan
terlampau heboh menurut Joonmyeon.
Puk~
Satu jitakan kembali mendarat di kepala adik semata wayang yang hanya
berpaut 2 tahunan dari Joonmyeon. Cara tersebut memang ampuh untuk membungkam
mulut Jongdae sementara. Efektif namun terkesan sangat singkat. Kali ini
Jongdae agak mengusap kepalanya karena jitakan yang satu ini lebih keras dari
yang sebelumnya.
Joomyeon menghela napas lalu mengadahkan tangan kirinya.
Menggoyang-goyangkan sedikit sampai terdengar suara kecil dari sebuah lonceng
yang selalu ia kenakan di pergelangan tangannya.
Ting! Ting! Ting!
“Lonceng? Dia menyukai lonceng?” pikir Jongdae bingung. Joonmyeon kembali
membuat sebuah gerakan. Sebuah gerakan yang membuat Jongdae membulatkan matanya
seketika.
“Apa?! Dia buta?!”
***
Aku tersenyum
tanpa kau ketahui...
Aku bahagia tanpa
kau ketahui...
Aku mencintaimu
tanpa kau ketahui...
Hanya dengan
detakan jantungku kau bisa mengetahuinya...
Hanya dengan
genggaman tanganmu kau bisa mengetahuinya...
Hanya dengan
sebuah suara lonceng kau bisa mengetahuinya...
Apakah kita bisa
bersatu?
Walaupun sebuah
ketidakpastian, berada tepat di depan kita...
-Kim Joon Myeon-
***
Ting! Ting! Ting!
“Tuan lonceng?” suara lembut wanita bermarga Shin telah menjadi memori terindah di otak Joonmyeon. Hanya
berlatar di sebuah halte pinggir jalan, dua minggu ini mereka selalu bertemu di
kala sore hari menjelang.
“Kali ini aku yang datang duluan, Tuan lonceng.”
Tak ada jawaban.
Ironis memang. Hanya percakapan sepihak yang terdengar. Hanya bermodalkan
sebuah kepercayaan, Eunmi percaya pada pria di sampingnya. Pria yang selalu
menautkan kedua telapak tangannya akhir-akhir ini. Sumber kehangatan selain
sang surya nan gagah atau perapian kecil nan mungil di rumahnya.
Dengan suara lonceng yang selalu ia dengar, yang selalu ia ingat, yang
selalu membuatnya sulit untuk tidur, ia percaya bahwa pria di sampingnya adalah
pria yang sangat baik. Eunmi selalu mencurahkan isi hatinya belakangan ini, tak
ada rasa canggung atau apapun di hatinya. Walaupun hanya suara lonceng yang
menjadi jawaban, ia berusaha tetap terus tersenyum manakala hatinya juga
merasakan sakit. Sampai terlintas, “apakah
karena aku gadis buta dan miskin, seseorang sampai enggan berbicara denganku?”.
Semuanya Eunmi tepis jauh-jauh sampai tak berbekas. Tidak mungkin, tidak
mungkin orang di sampingnya seperti itu. Ia sangat yakin bahwa orang di
sampingnya sangat baik.
“Sebentar lagi musim gugur.” seru Eunmi menatap lurus kedepan.
“Nde. Aku tahu. Aku kurang suka musim gugur.” Jawab Joonmyeon dalam hati.
“Musim yang dianggap kelabu. Musim perpisahan antara daun-daun maple dengan tangkai pohonnya. Musim
perpisahan antara bunga-bunga dengan lebah pencari nektar. Musim penuh warna
jingga dan coklat dengan udara dingin yang siap menembus kulit kita. Bahkan
menembus ke ulu hati kita, memberikan rasa sakit dan mungkin bisa membuat kita
patah hati. Sebaiknya Tuan lonceng memakai pakaian lebih tebal.” Terang Eunmi
dengan suara khasnya. Suara yang sangat diingat oleh saraf-saraf telinga
Joonmyeon.
Ting! Ting! Ting!
“Aku akan menggunakannya. Kau juga harus menggunakannya, Eunmi-ssi.” Ucap Joonmyeon tanpa suara. Ia
benci yang namanya keheningan.
“Huh, aku salut dengan Tuan lonceng. Sampai saat ini aku belum pernah
mendengar suara, Tuan. Belum pernah melihat senyuman, Tuan. Belum pernah
melihat wajah, Tuan. Ah... yang terakhir lupakan saja, itu sudah pasti hehehe.
Apa Tuan lonceng tampan? Tuan lonceng pasti sangat tampan, aku tahu itu.”
“Andaikan aku bisa melihat.” Lanjutnya dengan nada miris.
“Andaikan aku bisa berbicara. Hanya untuk menyampaikan satu kalimat.
Kalimat yang sangat sulit kuucapkan. Setiap hari aku selalu berusaha. Berlatih
agar bisa mengucapkan kalimat tersebut. Tapi semakin kucoba, rasanya tenggorokanku
ini ingin putus. Maafkan karena usahaku kurang, Eunmi-ssi.”
“Tuan lonceng?”
Ting! Ting! Ting!
“Aku sering bertanya-tanya, kenapa saat Tuan menggengamku seperti ini,
rasanya sangat hangat? kenapa saat Tuan bersamaku seperti ini, rasanya nyaman?
kenapa saat Tuan membunyikan lonceng, hatiku merasa tenang? Apakah ini yang
dinamakan rasa takut kehilangan. Aku tidak perlu berharap lebih, aku hanya
gadis buta yang miskin. Jika Tuan selalu mau bersamaku, itu sudah cukup
bagiku.”
“Mungkin aku akan menangis, tapi aku akan berusaha untuk tidak bersuara, seperti
Tuan yang selalu diam. Mungkin juga hatiku akan sakit, tapi aku akan terus
berusaha agar tidak terlihat rapuh. Aku akan melakukan itu semua jika Tuan
selalu mau bersamaku. Tidak apa-apa jika hanya aku yang disakiti.”
Genggaman Joonmyeon semakin ia eratkan. Ia merasa bersalah. Apakah karena
kebisuannya ia menyakiti orang lain? seolah-olah ia orang jahat yang
menggantungkan hati seorang gadis yang mungkin juga tulus mencintainya.
“Aku mencintaimu, Tuan loncengku.”
Ting! Ting! Ting!
“Aku juga mencintaimu, Eunmi-ssi.”
Balas Joonmyeon menahan kristal bening yang siap keluar kapan saja.
“Karena cintaku amat besar, aku harus mengorbankan perasaan ini. Jika di
sini aku harus menjadi egois agar kau bahagia, aku akan melakukannya. Kita
akhiri pertemuan ini. Anggap kita tidak pernah bertemu. Aku, si bisu. Dan kau,
si buta. Kita tidak akan pernah bisa bersama. Jika itu terjadi, memang benar
akan ada yang sakit. Dan yang akan merasakan itu kau, Eunmi-ssi. Aku tidak mau kau sakit lagi.
Anggap saja aku si bisu yang tak pernah ada untukmu.” lanjut Joonmyeon dalam
hati.
Joonmyeon menuntun telapak tangan Eunmi ke dada kirinya, ke sumber gempa
yang selalu membuat hatinya bergetar hebat saat bersama Eunmi. Detakan jantung
yang tidak bisa dikontrol saat selalu bersama dengan Eunmi. Ia harus
menormalkan ini, jantungnya tidak akan bergetar hebat lagi, ia harus
melupakannya.
Tetesan bening meleleh begitu saja dari kelopak mata Joonmyeon. Ia harus
merelakan Eunmi. Ia tidak boleh mengejar angan-angan –kemustahilan– yang amat
besar. Kau bisu, Kim Joonmyeon!
“Detak jantung Tuan sangat cepat.” Ujar Eunmi dengan senyuman tipis.
Mungkinkah Tuan loncengnya merasakan hal yang sama.
Joonmyeon kini mengadahkan tangan Eunmi. Dengan perasaan perih luar biasa,
Joonmyeon mengikatkan lonceng kecil lain di pergelangan Eunmi. Setelah itu,
dengan segera Joonmyeon pergi meninggalkan Eunmi yang masih terpaku di
tempatnya. Seketika raut wajah Eunmi menjadi muram.
“Tuan lonceng, kau kemana?!”
Ting! Ting! Ting!
“Tuan?!”
Ting! Ting! Ting!
“Tuan lonceng! jangan pergi!” Eunmi memekik sejadi-jadinya.
Ting! Ting! Ting!
Eunmi berjalan ke sembarang arah dengan tongkat stainless yang menjadi petunjuk jalan. Ia menangis dalam diam
karena tidak mampu mengejar orang yang sudah terlanjur ia cintai. Orang yang
bahkan tidak ia tahu bagaimana rupanya atau suaranya. Ia terjatuh bersimpuh di
tanah, kakinya lemas tak berdaya. Tuan loncengnya pergi begitu saja.
Ting! Ting! Ting!
“Ingat aku dalam suara lonceng itu. Jangan ingat aku dalam hatimu, Eunmi-ssi.” Joonmyeon terus berlari. Sakit.
Air mata sudah menganak, mengalir dan merembes begitu banyak. Satu lagi sungai
air mata yang ia buat.
***
Aku sadar kita tidak akan menyatu...
Kita sama-sama memiliki keterbatasan...
Aku si bisu yang terlalu bermimpi...
Dan kau si buta yang terlalu mudah mempercayai...
Aku tidak mau menoreh luka lebih dalam di hatimu...
Lebih baik satu luka sesaat...
Dan semuanya hilang berangsur kemudian...
Walaupun kutahu, itu akan memberikan bekas yang juga
dalam...
-Kim Joon Myeon-
***
Satu minggu berlalu. Ini awal dari musim dengan berjuta-juta daun yang
gugur dari pohonnya. Jatuh terbawa angin dingin yang siap menerpanya kemana
saja. Seorang wanita tengah duduk di bangku halte sedari tadi –sekitar tiga jam
yang lalu–. Menunggu bus... tidak! menunggu seseorang yang bahkan tidak ada
kepastian untuk mendatanginya. Dingin selalu ia abaikan setiap duduk di bangku
halte ini seorang diri. Bahkan gelapnya malam kini tidak ia perdulikan. Tunggu,
kehidupannya memang penuh dengan kegelapan.
Ting! Ting! Ting!
“Kau benar-benar pergi?”
Ting! Ting! Ting!
“Bahkan kau belum mengucapkan sama-sama
atas ungkapan terima kasihku waktu itu.”
Ting! Ting! Ting!
“Ternyata kau jahat! Seharusnya kau mengucapkan selamat tinggal sebelum
berpisah.”
Ting! Ting! Ting!
“Apa kau bisu, ha?!”
Wanita itu terus menggoyang-goyangkan pergelangan tangan kanannya.
Menghasilkan suara bandul lonceng di gelangnya tersebut. Suara yang dulu pernah
beradu dengan gemercik air hujan, kini barpadu dengan udara dingin yang
menembus –bahkan menusuk– ulu hatinya.
“Ternyata benar, musim gugur adalah musim kelabu dengan sejuta perpisahan.”
Lirih Eunmi –wanita itu–. Tak terasa cairan bening keluar dengan bebas lagi.
Entah sudah berapa kali ia menangis.
Menangisi kepergian seseorang yang entah apa penyebabnya.
Dengan langkah gontai, ia berangsur pergi dari bangku halte tadi. Dirinya
sudah benar-benar bosan menunggu seseorang selama satu minggu belakangan ini.
Jika dihitung pula, sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan demi orang
yang memberikan lonceng di pergelangan tangannya. Pria jahat!
Tes~ tes~ tes~
Rintik air dari langit menyentuh kulit mulus Eunmi. Siap mengguyur tempat
gadis yang tengah sesenggukan itu berada. Awal malam musim gugur, kenapa harus
hujan?
Dengan lemas dan sembarang arah, Eunmi melangkahkan kakinya perlahan.
Membiarkan jutaan air membasahinya saat ini. Biarkan suara lonceng beradu
dengan air hujan lagi. Biarkan air matanya bercampur dengan air suci dari
langit ini.
Tiiinnn~
Klakson mobil memekakkan telinga Eunmi. Membuat dirinya menolehkan ke
sumber suara. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Apakah ia berjalan terlalu jauh
sampai-sampai melewati batas trotoar? Apakah ini akhir dari kehidupan si buta?
Buk~
Seseorang mendorong tubuh Eunmi sampai terhempas ke sisi jalan yang
satunya. Mempertaruhkan tubuhnya sendiri untuk menolong Eunmi agar tidak beradu
dengan kepala mobil tersebut yang tengah melaju.
Hujan semakin deras, membuat darah segar semakin menyebar dari tempat pria
yang tergeletak mengenaskan tak jauh dari Eunmi jatuh meringkuk. Ia berusaha
mencari tongkatnya yang ikut terpental entah kemana.
Eunmi merasa kini ia menjadi sorot perhatian. Menjadi kerumunan orang
banyak yang hendak menolongnya.
“Apa yang terjadi?” sebuah tanda tanya besar terpatri jelas di benak Eunmi.
“Cepat tolong dia!”
“Astaga! mengerikan sekali!”
“Cepat telepon ambulance! kita harus menyelamatkan pria
ini!”
Beberapa perkataan orang di sekitar Eunmi membuat tubuhnya semakin bergetar
hebat. Suara orang-orang dan gemuruh air hujan menjadi satu saat ini. Membuat
Eunmi semakin menangis tak henti-hentinya. Tunggu, ada suara lain! Ini... suara
lonceng yang sama. Bukan suara lonceng di pergelangan tangannya, ini berasal
dari suara lonceng yang lain. Pelan, sangat pelan, namun terdengar nyaring di
gendang telinga Eunmi.
Beberapa orang memapah Eunmi ke pinggir jalan. Membiarkan korban pria yang
masih tergeletak di tengah jalan itu ditolong oleh petugas medis yang baru saja
datang dengan ambulance.
“Tuan lonceng, kau menolongku lagi.”
“Terima kasih banyak, Tuan lonceng.” Eunmi melirih. Ia tahu siapa yang
telah menolongnya tadi. Ia yakin itu Tuan loncengnya.
***
Kini aku
benar-benar pergi...
Kini kita
benar-benar telah jauh...
Kini kita
benar-benar tidak bisa bertemu lagi...
Kau cinta
pertamaku...
Kau cinta
terakhirku...
Kau cinta
sejatiku...
Kau si buta yang
membuat si bisu gila karena cintanya...
Kau si buta yang
membuat si bisu meronta dalam hatinya...
Kau si buta yang
membuat si bisu mempertaruhkan nyawanya...
Terima kasih karena
pernah singgah di hatiku...
-Kim Joon Myeon-
***
Seorang wanita tengah duduk dengan senyuman yang mengembang lebar di wajah
cantiknya. Kakinya terus ia ayunkan untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh yang
sempat menghampirinya. Aktivitas lain yang ia lakukan adalah
menggoyang-goyangkan pergelangan tangannya yang dilingkari gelang berbandul
lonceng yang sudah tidak bisa berbunyi karena rusak membentur tanah akibat
tragedi malam awal musim gugur tiga hari yang lalu. Kenapa tidak dilepas dan dibuang
saja? mungkin itu barang yang sangat berharga untuknya.
“Aku si buta yang bodoh! masih saja terus menunggumu, Tuan lonceng.”
“Kau benar-benar tidak kembali? Berikan lonceng untukku lagi sebelum kau
pergi. Aku benar-benar kesepian saat ini. Di sini sunyi sekali dan juga dingin.”
“Huh, Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih sudah
menolongku dan terima kasih karena sudah pernah singgah di hatiku.”
Ting! Ting! Ting!
Suara itu kembali terdengar. Mengisi ruang lingkup hati si wanita yang
benar-benar terasa hampa saat ini. Apa ini hanya halusinasi? Apakah Tuan
loncengnya...
Derap langkah semakin mendekati tempat yang diduduki Eunmi. Ada rasa tak
percaya yang hinggap di hati Eunmi. Sungguh! ia tidak sedang bermimpi, bukan?
“Uhm...” sebuah deheman kecil menerobos masuk ke gendang telinga Eunmi.
Suara ini... benarkah... ini suara...
“Eunmi-ssi...”
Deg~
Suara tenor seorang pria membuat mata Eunmi membulat. Ia mendengarnya, mendengar
suara pria ini. Benarkah Tuan loncengnya sudah kembali?
Ting! Ting! Ting!
Eunmi bangkit dari tempat duduknya. Segera menerka-nerka dimana posisi pria
itu berada. Ia rindu dengan Tuan loncengnya. Genggaman, aroma, pelukan,
semuanya Eunmi rindukan. Dan sekarang, ia bisa mendengar jelas suara Tuan
loncengnya.
Grep~
Kedua lengan Eunmi berhasil merengkuh sosok yang ia yakini sebagai Tuan
loncengnya. Ia kembali merasakan hangat, walaupun tidak seperti hari-hari yang
lalu, ia merasakan hangat dalam rengkuhan pria ini.
“Hiks... hiks... hiks... Tuan lonceng... hiks... jangan pergi lagi.” Lirih
Eunmi yang menenggelamkan kepalanya di dada bidang si pria.
“N-nde, a-aku Tuan loncengmu. Maafkan aku telah meninggalkanmu.” Jawab si
pria mengusap puncak kepala Eunmi. Seraya tersenyum prihatin melihat kesedihan
mendalam yang dialami wanita bersurai panjang kecoklatan itu.
“Aku memaafkan, Tuan. Yang terpenting jangan pergi lagi hiks... hiks...”
“Nde, a-aku tidak akan pergi lagi.” Jawabnya lagi. Eunmi membuat jarak
dengan si pria. Menyeka air matanya yang bisa dibilang air mata bahagia. Ini
bukan mimpi! ini nyata!
“Karena sekarang aku bisa mendengar suara Tuan, aku... ingin tahu namamu, hm?”
“N-na-namaku... Kim Jongdae. Tuan loncengmu.” Jawab pria itu pelan. Ia
tersenyum getir.
“Aku janji akan melindunginya, hyeong.” lanjut Jongdae dalam hati.
“Kim Jongdae. Nama Tuan loncengku selama ini!” ujar Eunmi bahagia. Akhirnya
ia mengetahui nama Tuan loncengnya.
Ting! Ting! Ting!
***
I Love You...
Sepatah kalimat yang sangat sulit kuucapkan...
I Love You...
Sepatah kalimat yang membuatku tahu artinya cinta...
Aku mencintai si buta karena kekurangannya...
Karena mulutku tak bisa berucap...
Biarkan kebisuan yang mengisinya...
Karena mulutku tak bisa berucap...
Biarkan hatiku yang menjawabnya...
Cerita sedih di musim gugur...
Mengisahkan perpisahan si buta dengan si bisu...
Cerita bahagia di musim gugur...
Mengisahkan pertemuan si buta dengan Tuan lonceng barunya...
Ting! Ting! Ting!
END~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar