The Last Request




Tittle : The Last Request || Cast : Do Kyungsoo, Bae Heejung, Oh Sehun, Park Chanyeol, Wu Yifan || Genre : Sad, Hurt, Angst || Length : Oneshot || Rating : T || Author : K–Writer / @lexuzen_s4


Recommended Song : Jin – Gone


-----o0o-----


“CEO tertinggi DO.Coperation menyumbangkan 50% saham perusahaannya untuk beberapa panti asuhan di distrik Seoul. Dikabarkan penyakit yang dari hari ke hari semakin parah, membuat satu-satunya pemegang jabatan tertinggi di perusahaan itu memberikan separuh hartanya untuk menolong banyak orang sebelum ia pergi. Apakah ini akhir dari puncak kejayaan salah satu perusahaan terbesar di Seoul? semuanya masih akan dicari tahu kebenarannya.” – ( laporan seorang reporter setempat )


***


Senin, 10 Desember


Pip...


Seorang pria menghela napas berat setelah melihat berita di televisi sepersekian detik. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang sedikit bergetar. Matanya sudah memerah dan memanas melihat laporan dari seorang reporter barusan. Rahangnya mengeras menahan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Kesal, marah dan juga... sedih.


“Sekertaris Wu?” panggil seorang pria lalu ikut duduk di sebelah pria yang satunya. Pria yang dipanggil “Sekertaris Wu”.


“Hmm...”


“Sedang apa? menonton televisi?”


“Nde. Aku sudah melihat semuanya.”


“Hmm... melihat apa? kenapa kau jadi murung?”


“Huh, Do Kyungsoo! kenapa kau melakukan semua ini? Kenapa kau melakukan seolah-olah kau akan benar-benar pergi. Masih ada harapan, Kyungsoo-ya.” Pria berstatus sebagai sekertaris itupun menghela napas berat lagi di akhir ucapannya.


“Wu Yi Fan! Apakah salah? aku hanya menolong anak-anak di panti asuhan. Mereka lebih membutuhkan itu. Aku tidak mau menghabiskan semua uangku hanya untuk berobat. Berobat ke sana kemari yang bahkan tidak membuahkan hasil. Aku sudah lelah. Aku ingin menjadi orang baik, Ayah dan Ibu di atas sana pasti juga menyukai hal ini.” Jelas lawan bicara pria itu yang berstatus sebagai atasannya. CEO tertinggi DO.Coperation, Do Kyungsoo.


“Tapi masih ada harapan Kyungsoo-ya, tidak secepat ini!” Bantah Wu Yi Fan –sekertarisnya– sedikit menaikan nada bicara. Kyungsoo hanya mendesah pelan.


“Kris-ge...” gersah Kyungsoo. –“Kris-ge”– panggilan lain Wu Yi Fan yang memang lebih tua daripada Kyungsoo. Panggilan nonformal tepatnya.


“Sudah berapa tahun kau berdiri di sampingku, ge?


“Maksudmu?”


“Kau sudah bekerja di perusahaan ini berapa lama?”


“I-itu... mu-mungkin sekitar 5 tahunan.”


“Nde. Waktu itu, Ayah masih memegang hak penuh perusahaan ini. Dan kemudian, Ayah juga pergi menyusul Ibu.” Ujar Kyungsoo menampilkan senyum tipis. Kris hanya diam mendengarkan penuturan Kyungsoo barusan. Hatinya sakit lagi.


“Aku kira itu sebuah akhir. Waktu itu aku hanya seorang anak SMA, masih belum memikirkan yang namanya bekerja atau mencari uang. Di usiaku yang masih muda dan belum matang, aku sudah di tinggal Ayah dan Ibu. Aku kalut dalam kesedihan. Tidak bisa berpikir jernih, hanya bisa menangis, tak tahu harus berbuat apa.” Lanjut Kyungsoo menautkan ke sepuluh jarinya.


“Pada akhirnya kau berdiri di sampingku, mengajarkanku banyak hal. Mengajarkan taktik bisnis agar perusahaan Ayah masih bisa berdiri kokoh. Melanjutkan kerja kerasnya. Yah, mungkin karena aku anak tunggal. Hal itu pasti akan datang suatu saat.”


“Kau mengajarkanku dari hal yang sepele, penting sampai yang membosankan. Terkadang aku jenuh mendengar semua perkataanmu. Pernah terbesit untuk lari dari takdir yang sudah ditetapkan Tuhan ini. Tetapi di saat itu pula kau ada, kau meraih tanganku, menggenggamnya erat-erat, membawaku ke jalan takdir yang seharusnya. Apa waktu itu kau tidak pernah bosan, huh?” ujar Kyungsoo memutar pandangannya ke pria yang lebih tua darinya. Yang diperhatikan hanya mampu menundukkan kepala tak berani menatap maupun menjawab pertanyaan Kyungsoo barusan.


“Sekarang semuanya telah seperti semula. Perusahaan ini kembali berjaya. Menurutku, ini bukan hasil kerja kerasku. Ini hasil kerja kerasmu, ge. Kau selalu ada di sampingku, sebagai sekertaris, kuasa hukum, juru bicara, bahkan bodyguard  sekalipun.” Jelas Kyungsoo masih tersenyum. Senyuman teramat tulus.


“Tidak. Aku tidak menganggapmu sebagai bawahan. Aku tidak menganggapmu sebagai orang lain. Aku menganggapmu sebagai... seorang Ayah malah.”


“Seorang Ayah yang selalu menjaga anaknya, memapahku saat penyakit ini kambuh, mengingatkaku untuk meminum obat yang kurasa malah seperti permen setiap harinya, mengingatkanku agar tidak terlalu lelah, mengajari anaknya berbagai macam hal. Lihat sekarang, aku fasih berbahasa China karenamu.” Sambung Kyungsoo memejamkan matanya. Mengingat kenangan bersama pria di sampingnya. Pria tinggi yang sudah ia anggap sebagai pengganti sosok Ayah. Padahal umur mereka hanya berpaut 5 tahunan.


“Karenamu, aku paham yang namanya sebuah takdir. Oleh karena itu biarkan aku menjalani takdir saat ini. Biarkan aku pergi, menolong anak-anak di panti asuhan. Menolong orang lain bukankah hal baik, ge? kau pernah mengatakannya, bukan?”


“T-ta-tapi kenapa harus begini? Kenapa saat kau sudah bangkit, kau malah...” ucapan Kris terpotong. Suaranya telah tercekat karena perasaan yang mengombang-ambingkannya. Bergemuruh hebat bagaikan badai yang menerjang sebuah perahu kayu kecil di tengah samudera luas.


“Ini sudah takdir, ge.


Hening. Yang ada hanya suara tangisan dari pria tinggi yang memejamkan matanya. Sakit. Perlahan namun pasti, seakan ada pisau yang terus menyayat ulu hatinya lebih dalam.


“Jangan menangis, ge. Bukankah kau juga pernah bilang kalau menangis tidak meyelesaikan masalah. Ahh... di saat seperti ini, biasanya kau memberiku hadiah, bukan? Aku punya hadiah untukmu?” ucap Kyungsoo tersenyum simpul. Kris segera menyeka air matanya kasar. Manik matanya kini berani menatap sosok Do Kyungsoo.


“Perusahaan masih mempunyai saham sebesar 50%. Aku akan memberikan semuanya untukmu. Bagaimana?” Ucap Kyungsoo ringan. Sedangkan Kris, ia hanya mampu membelalakkan matanya tak percaya.


“Apa?!” ucap Kris amat terkejut.


“Tapi aku punya satu permintaan. Dan kumohon agar kau menepatinya...”


***


Selasa, 11 Desember


Kring!


Sebuah lonceng pintu coffe shop berbunyi. Menandakan seorang pelanggan datang untuk menikmati secangkir kopi hangat di musim dingin tahun ini. Ia duduk di salah satu bangku coffe shop ini. Mengacungkan tangannya memanggil pelayan untuk mencatat pesanan.


“Ya... mau apa kemari?”


“Seharusnya seorang pelayan berkata ke pelanggan, mau pesan apa, tuan? Bukan malah bersikap garang seperti ini.”


“Yayaya... mau pesan apa, tuan Do Kyungsoo?” ucap pelayan itu penuh penekanan ke nama pelanggan tetapnya.


“Aku memesanmu untuk mengobrol sejenak, Chanyeol hyeong.” Ujar Kyungsoo sarkatis. Pelayan bernama Chanyeol itu hanya mendesis geli mendengarnya lalu duduk berhadapan dengan Kyungsoo.


“Kenapa?” tukas Kyungsoo saat memperhatikan hyeong-nya itu menatap intens dirinya.


“Kau baik-baik saja? Kudengar dari berita...”


“Oh itu. Tidak usah dibahas. Lebih kita membicarakan hal lain.” timpal Kyungsoo memotong kalimat Chanyeol. Chanyeol sendiri hanya menatap sendu pria kecil di hadapannya ini. Ia tahu, bahwa keadaan Kyungsoo saat ini tak semudah seperti membalik telapak tangan.


“Hyeong, kau sahabatku. Sahabat yang selalu membuatkanku kopi jika aku kemari. Sahabat yang selalu mendengarkan ocehanku di saat aku jenuh bekerja. Melayaniku dengan telaten yang mungkin masih kekanak-kanakkan di matamu. Tapi apakah kau tidak bosan melayaniku?”


“Untuk apa? kau sudah kuanggap seperti saudara, Kyungsoo-ya. Terkadang mendengarkanmu juga sebuah hiburan, kau tahu? ekspresimu terkadang membuatku ingin tertawa. Melupakan masalahku sendiri sejenak. Kau mood maker-ku.” Tukas Chanyeol membuat ekspresi lucu dengan mengedipkan satu matanya. Jauh dari itu, sebenarnya hatinya juga sakit mengingat penyakit yang Kyungsoo derita. Tak jarang pria bermata bulat itu jatuh pingsan saat berkunjung kemari.


“Kuharap kau benar-benar kakakku. Seorang saudara yang saling menyayangi tanpa ada batasan. Mendengarkan keluh kesah satu sama lain. Seorang kakak yang baik untukku. Park Chanyeol, kuharap kau menjadi kakakku.”


“Yak! apa yang kau bicarakan? aku tidak mau punya adik pendek sepertimu. Kau lihat? aku ini sangat tinggi seperti jerapah.” Ujar Chanyeol yang membuat mereka berdua saling terkekeh geli. Berbeda dengan perasaan di dalam dada Chanyeol, ia tengah melawan rasa sakit dan sedih yang sudah ingin merembes melalui bola matanya.


“Hyeong...”


“Hmm?”


“Apakah kau punya keinginan?”


“Nde.”


“Apa itu?”


“Aku... aku ingin mempunyai coffe shop sendiri. Kau selalu bilang jika kopi buatanku sangat enak. Jadi saat aku mempunyai kedai sendiri, mungkin aku akan memberikan kopi gratis kepadamu sepuasnya. Tidak akan ada Manager yang memarahiku hahaha...” kekeh Chanyeol renyah.


“Terkabul! kau harus menepati janjimu. Kau akan segera punya coffe shop. Ingat! tepati janjimu. Pria memegang teguh ucapannya.” Timpal Kyungsoo menjentikkan jarinya.


“A-apa maksudmu, Kyungsoo?”


“Bukankah kau ingin coffe shop? aku akan memberikannya. Asalkan kau bisa memenuhi satu permintaanku. Bagaimana?”


***


Rabu, 12 Desember


Keseruan dan keceriaan tergambar jelas di taman bermain ini. Tak ada kesedihan yang tersirat di raut wajah para pengunjung taman bermain dengan berpuluh-puluh wahana di dalamnya. Dua orang pria tengah duduk di salah satu bangku panjang sembari melahap es krim dalam cone. Memakan es krim di musim dingin sangat aneh bukan?


“Hyeong, kenapa kau membeli es krim rasa coklat? bukankah kau lebih senang rasa vanilla?”


“Aku hanya sedang bosan rasa vanilla. Aku ingin merasakan rasa yang sama denganmu, Sehun.”


“Selesai makan es krim, kita naik yang mana lagi, hyeong? bagaimana jika naik komidi putar?” ucap Sehun tersenyum ceria dengan sudut bibir yang ditempeli es krim miliknya sendiri.


“Aisshh... kita ini sudah besar? kapan pemikiranmu dewasa Oh Sehun? apakah di kelas kau peringkat terakhir?” celetuk Kyungsoo merengut.


“Aku inikan hanya anak SMA. Memang tidak boleh naik yang seperti itu? apa ada larangannya?” balas Sehun mengerucutkan bibir mungilnya.


“Aisshh... kau seperti anak 5 tahun yang terperangkap di tubuh jangkung.” Ledek Kyungsoo tertawa renyah.


“Tidak apa-apa. Hyeong malah seperti seorang paman-paman yang terperangkap di tubuh anak kecil. Sangat pendek.” Mendengar penuturan pria SMA sembari tertawa kencang, hanya membuat Kyungsoo membulatkan matanya sangat sempurna. Ingin rasanya menjitak kepala Sehun sampai pitak.


Puk!


“Awww!! sakit!!” Sukses! satu jitakan mendarat tepat di kepala Sehun.


“Jangan mengataiku pendek.” Umpat Kyungsoo kesal. Sedangkan sasaran yang tadi terkena jitakan hanya diam dengan muka polosnya. Pria yang ia anggap sebagai kakak angkatnya ini menyeramkan jika mengamuk.


“Sehunnie...” seru Kyungsoo yang telah kembali normal.


“Nde?”


“Jika peri itu benar ada, kau ingin meminta apa?” imbuh Kyungsoo kembali melahap es krim coklat di genggamannya.


“Uhm? Aku... hmm... aku ingin... aku ingin mempunyai taman bermain sendiri. Dengan ratusan wahana di dalamnya agar saat kita bermain bersama, kita tak perlu membayar lagi hehehe...” jelas Sehun dengan tampang polos.


Puk!


“Awww!! sakit, hyeong!! Isshh... bagaimana jika aku gagar otak.” satu jitakan kembali sukses mendarat di kepala Sehun. Sehun hanya mendengus sebal dibuatnya.


“Yang kau pikirkan hanya bermain. Kapan kau mau belajar, huh?!” gersah Kyungsoo memutar kedua matanya malas. Sehun masih mengusap pelan bekas jitakannya tadi.


“Isshh... terserah aku! ‘kan aku yang menemukan peri-nya!” rajuk Sehun kesal.


“Setidaknya mintalah sesuatu yang lebih masuk akal. Tidak seperti taman bermain dengan ratusan wahana. Kau kira apa untungnya kita bermain bersama terus?”


“Itu karena aku ingin selalu bersamamu, hyeong. Aku ingin kau terus memperhatikanku. Selalu meluangkan waktu agar bisa bermain bersama. Seperti anak-anak memang, tapi aku menyukainya. Karna aku berharap kau kakakku dan aku adikmu.” Jawab Sehun menampilkan eyes smile miliknya. Ia memang hanya anak 17 tahunan yang terlalu polos. Pemikirannya sangat simple seperti anak-anak.


“Aku juga berpikir begitu, Sehun. Aku ingin sekali mempunyai adik yang terlampau polos sepertimu.” Tukas Kyungsoo ikut membuat lengkungan manis di wajahnya. Mereka saling menatap satu sama lain. Ikatan saudara yang tumbuh begitu saja.


“Sekarang aku serius, kau ingin apa? aku bisa mengabulkannya. Anggap aku ini peri. Itu saja.” Ucap Kyungsoo memundurkan kepala Sehun yang semakin mendekat dengan menggunakan satu jari telunjuknya. Terlalu dekat sampai mengikis oksigen di antara mereka berdua. Kyungsoo masih waras untuk hal tak wajar seperti tadi.


“Astaga?! benarkah?!” tanya Sehun girang berusaha memastikan. Sebuah anggukan enteng menjadi jawabannya.


“Aku ingin... aku ingin persediaan bubble tea selama seminggu penuh.”


“Isshh... masih saja tidak masuk akal. Yasudah, aku bisa menurutinya, tapi ada satu permintaan...” sungut Kyungsoo yang mendapat tatapan bingung dari Sehun.


***


Kamis, 13 Desember


Seorang wanita tengah duduk di sebuah bangku halte. Mungkin ia tengah menunggu bus yang akan lewat. Baju tebal yang ia pakai sudah cukup untuk melindunginya dari sengatan udara dingin saat ini. Tetapi ada yang janggal, tatapan wanita itu kosong hanya terfokus ke depan.


“Sudah menunggu lama, Bae Heejung?” seru seorang pria duduk di samping wanita bernama Bae Heejung tersebut. Wanita yang di panggil hanya sedikit menoleh dan tersenyum simpul.


“Uhm? Kyungsoo-ya.”


“Apa tidak dingin di luar sendirian?” tanya Kyungsoo ikut memandang lurus ke depan. Menatap hamparan putih yang disebabkan oleh kepingan-kepingan salju yang turun dari langit. Sungguh indah.


“Tidak. Aku tidak pernah takut dingin jika kau di sampingku. Rasanya hangat jika kau berada di sampingku.” Ujar Heejung masih tersenyum tanpa menatap lawan bicaranya.


“Aku juga merasakan yang sama. Tapi sepertinya akhir-akhir ini kau harus menghangatkan dirimu di perapian saja.”


“Kenapa?”


“Aku ingin pergi. Jadi jangan menungguku terus. Aku takut tidak bisa tenang saat pergi nanti.”


“Kau ingin pergi kemana? seolah-olah kau akan pergi jauh?” tanya Heejung cemas. Ia tak bisa jauh dari sosok di sampingnya ini.


“Yah, cukup jauh. Tapi jika aku telah sampai, mungkin aku bisa tersenyum puas setelah perjalanan yang kutempuh. Tempat yang indah, mungkin.”


“Kapan akan pergi?”


“Entahlah. Mungkin di saat salju turun dengan lebat.”


“Tapi aku tidak tahu kapan itu.” Timpal Heejung muram. Ia tak kuasa menahan tangis dari pelupuk matanya. Mungkinkah ia akan berpisah dengan seseorang yang telah mengisi ruang kosong di hatinya.


“Kau tidak perlu tahu kapan. Kau cukup mempercayai bahwa aku akan selalu ada untukmu. Akan selalu menghangatkanmu. Ingat aku di dalam hatimu, itu saja.” Tutur Kyungsoo lalu menautkan kedua tangannya ke Heejung. Wanita bersurai panjang kecoklatan itu sudah tidak bisa menahan isak tangis lagi. Firasatnya mengatakan bahwa ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan pria bermarga Do ini.


“Aku akan merindukanmu, Kyungsoo-ya.”


“Aku juga begitu, putri saljuku.”


Kedua insan manusia itu saling menangis dalam diam. Disaksikan oleh ribuan salju yang terus turun ke bumi. Hanya sebuah linangan air mata yang bisa menyiratkan kepedihan mendalam kedua insan tersebut. Terlebih lagi Heejung yang telah berderu dengan bahu yang naik-turun tak kuasa menahan tangis. Mungkin ada pedang tajam yang menebas ulu hatinya berkali-kali. 


“Sudah jangan menangis.” Ucap Kyungsoo menyeka lembut air mata Heejung.


“Sebelum aku pergi, apakah kau ingin minta sesuatu?” tanya Kyungsoo yang terdengar sedikit parau karena tak terelakkan juga ia sedikit menangis.


“Nde, aku punya.”


“Apa itu?”


“Aku ingin bisa melihatmu. Melihat wajahmu, matamu, hidungmu, rambutmu, tubuhmu. Semuanya. Aku ingin melihat itu. Jika aku diberi kesempatan untuk melihat, aku hanya ingin melihatmu, tidak ingin yang lain.” lirih Heejung dengan bibir bergetar. Ia... gadis buta.


“Aku pria pendek dengan mata bulat. Apakah kau menyukainya?” Tutur Kyungsoo yang kini menangkup kedua pipi tirus Heejung.


“Aku tidak mempercayainya. Aku ingin melihatmu langsung. Untuk sekali saja, aku akan melakukan apapun.”


“Aku tidak berbohong. Aku benar pria seperti itu.”


“Bohong!”


“Aku akan mengabulkan permintaanmu itu.”


“Bohong!”


Grep


Kedua lengan Kyungsoo merengkuh tubuh kecil Heejung. Berusaha menenangkan batin wanita lemah yang dari tadi masih menangis dalam diam tanpa suara. Sakit. Ribuan jarum terus saja berjatuhan ke hati mereka berdua.


“Aku tidak pernah bohong. Aku akan membuktikannya, sungguh.” Tutur Kyungsoo pelan. Amat pelan dan penuh perasaan. Sedangkan Heejung masih terus terisak.


“Tapi saat kau sudah bisa melihat dunia, aku ingin kau melakukan satu permintaanku.” Lanjutnya.


“Apa itu?” Kyungsoo mengeluarkan secarik kertas dari sakunya.


“Aku tidak bisa mengatakannya. Saat kau melihat dunia, kuharap kau bisa membaca ini.” Ucap Kyungsoo menyatukan telapak tangannya lagi dengan maksud memberikan secarik kertas. Kertas yang entah isinya apa.


***


“Pergilah ke Teater di Gyeonggi-do pada malam natal. Aku akan memberitahu permintaannya di sana. Kumohon jangan sampai telat, orang-orang yang sangat kucintai.” – Do Kyungsoo


***


Minggu, 25 Desember ( Christmas Night )


Seorang wanita tengah berlari menerobos benda putih lembut yang turun lebat di malam natal ini. Hanya satu yang wanita itu rasakan. Bahagia. Sepanjang hidupnya, ia paling bersyukur akan momen ini. Di malam natal dengan salju yang turun amat lebat. Tapi tidak dipungkiri juga ia kedinginan, ia harus segera sampai ke tempat yang hendak ia tuju. Mencari sinar kehangatannya di salah satu Teater kawasan Gyeonggi-do.


“Aku mempercayaimu, Kyungsoo-ya. Sungguh. Aku bisa melihat sekarang. Tunggu aku. Aku akan bisa melihat wajahmu.” Gumam wanita itu terus berlari menorobos hujan salju. Dirinya telah sampai ke tempat yang ia maksud. Gedung Teater.


Dengan langkah perlahan ia memasuki ruang teater utama. Nampak sepi, hanya ada 3 pria yang saling duduk bersebelahan. Apakah dari mereka, ada sosok yang ia maksud –Do Kyungsoo–.


“Heejung-ssi? kau benar Bae Heejung?” tanya salah satu pria dari mereka.


“Ahh... nde.” Mungkinkah ini Kyungsoo. Tidak! Heejung paham suara Kyungsoo tidak berat seperti itu.


“Aku Wu Yi Fan, silahkan duduk di sini.” Ucap pria itu ramah sembari menepuk-nepuk bangku teater di sebelahnya. Ada perasaan takut menghinggapi batin Heejung. Jelas saja, ia satu-satunya wanita di ruangan ini. Tapi melihat dari cara berbicara pria tadi, Heejung hanya mampu mengangguk menurut lalu duduk.


“Annyeong, aku Oh Sehun. Panggil saja Sehun.” Sapa seseorang di sebelah pria bernama Wu Yi Fan tadi.


“Ahh... annyeong, aku Chanyeol.” Sapa pria yang satunya lagi tak kalah ramah. Pupus! tak ada satupun dari ketiga pria itu yang bernama Do Kyungsoo.


“A-apa ada pria bernama... Do Kyungsoo?” Heejung memberanikan bertanya. Tetapi hanya sebuah senyuman tipis yang tersungging di wajah Wu Yi Fan, sedangkan Sehun dan Chanyeol memilih diam seribu bahasa.


“Lebih baik kau menonton dulu.” Ucap Wu Yi Fan atau yang kerap di panggil Kris setelah menghela napas panjang.


Klik. Lampu teater ini padam. Semuanya beralih ke sebuah cahaya yang tertangkap di depan layar. Mata Heejung menangkap sosok pendek bermata bulat dalam siluet rekaman film tersebut. Pria itu siapa?


“Hai semuanya? apakah kalian baik-baik saja? apakah semuanya telah berkumpul? tidak ada yang terlambat, bukan? maaf jika mengganggu malam natal kalian.”


Hening. Suasana di dalam teater ini benar-benar hening. Sesuatu hawa aneh berdesir begitu hebat melewati ke-empat orang yang tengah fokus menatap layar teater tersebut.


“Hmm... Kris-ge? bagaimana kabarmu? apakah kau ada di sini? aku harap demikian. Aku akan langsung memecatmu jika kau tidak datang. Oopss!! aku lupa! aku sudah tidak menjabat menjadi CEO utama di perusahaan tersebut. Kini kau yang mengemban perusahaan tersebut, ge. Jangan kecewakan aku. Kau harus bisa membuat perusahaan itu bangkit lagi walaupun sahamnya sudah mulai menipis. Selain itu... aku ingin berterima kasih kepadamu selama ini. Telah mengajariku arti pentingnya hidup. Kau yang 5 tahun belakangan ini berada di sisiku, selalu mengajariku banyak hal. Aku tidak akan pernah melupakan semua nasehatmu, ge. Sudahlah, aku masih harus berbicara dengan yang lain. Otte? Berjuang, Ayah baruku!”


“Hmm... Hai, Chanyeol hyeong? bagaimana kabarmu? semoga kau juga baik-baik saja. Bagaimana? apakah coffe shop yang aku berikan kurang bagus? atau kurang luas? hah... aku membelinya begitu singkat karena waktuku tidak banyak. Maafkan aku karena tidak bisa minum di coffe shop milikmu sendiri. Padahal aku sedang ingin minum kopi, tapi dokter melarangku saat ini. Mungkin kapan-kapan jika Tuhan masih mengijinkan, aku akan datang ke sana kkkk~ Yang terpenting kau harus bisa menjadikan coffe shop-mu itu nomor satu di Seoul. Tidak! seantero Korea bahkan sedunia-pun harus. Kopi buatanmu itu enak, aku rindu rasanya, hyeong. Kakak tercinta satu-satunya kkkk~”


“Sehunnie... apa kabarmu? masih ceria, bukan? masih seperti Sehun yang kukenal? ceria dan polos. Apakah persediaan bubble tea seminggu-mu sudah habis? jika iya kau benar-benar rakus, Sehunnie! Lalu bagaimana sekolahmu? kau harus bisa meraih peringkat tiga besar tahun ini? jangan seperti tahun lalu. Peringkatmu seperti orang yang berjalan di tempat, tidak pernah naik maupun turun. Hmm... maafkan hyeong jika sering menjitak kepalamu, maafkan hyeong juga karena tidak bisa mengajakmu bermain  lagi. Tapi kau harus ingat, aku sangat menyayangimu lebih dari seorang kakak ke adiknya. Ya... walaupun kadang sikapmu menjengkelkan, tapi yang namanya rasa sayang, tidak bisa dipungkiri, bukan? Belajar yang rajin! jangan bermain terus! Fighting, adik polosku tercinta!”


Tes tes tes


Sehun telah bebas meneteskan bulir bening dari kelopak matanya. Ia masih cukup muda untuk merasakan perih yang seperti ini. Sedangkan Kris dan Chanyeol hanya mampu menelan dalam-dalam air liurnya menahan rasa sakit yang sama. Mereka masih berusaha tetap kuat walaupun dengan mata yang telah benar-benar memanas. Sedangkan wanita satu-satunya di ruangan ini, hanya mampu diam memperhatikan siluet rekaman di layar tersebut. Ada perasaan takut jika ia tahu yang sebenarnya. Mungkinkah pria di dalam rekaman tersebut...


“Ahh... Heejung-ah! kau ada di sini, bukan? kau ada di depanku, bukan? aku benar-benar berharap kau ada di sini. Duduk memeperhatikan wajahku ini. Bagaimana? kau percaya? aku ini pria pendek bermata bulat. Apakah aku tampan? kkkk~ Sudah kubilang aku tidak akan pernah berbohong. Hmm... apakah salju di luar turun lebat? Kau harus memakai jaket tebal agar tidak kedinginan. Bagaimana? dunia indah? banyak warna di sana-sini. Kau berpikir seperi itu’kan? Hah... maafkan aku harus pergi meninggalkanmu. Aku sudah lelah untuk hidup, Heejung-ah. Sebagai tanda perpisahan, semoga kau bisa menjaga kedua bola mataku baik-baik. Jangan kau pergunakan untuk melihat pria tampan yang lain, terutama Chanyeol hyeong kkkk~. Hmm... aku mencintaimu, putri saljuku.”


Deg. Semuanya berdesir begitu cepat dan kuat. Sungguh ini kisah kelabu untuk ke-empat manusia di dalam ruangan ini. Tidak ada alasan lagi untuk menahan air mata yang sudah ingin merembes bebas dari indera penglihatan mereka masing-masing. Malam natal kelabu bagi mereka yang merasakannya. Heejung? tidak usah ditanya bagaimana kesedihannya. Air mata mengalir sangat deras membuat anak sungai suci membelah pipi tirusnya. Jadi, orang yang mendonorkan matanya ini? Do Kyungsoo?


“Ahh... terima kasih untuk kalian semua yang datang. Kalian semua orang-orang yang amat kucintai. Suatu keberuntumgan aku bisa bertemu dengan 3 tiang listrik dan 1 putri salju kkkk~ Itu benar-benar kenangan terindah seumur hidupku. Kris-ge, hyeong, Sehunnie, kalian itukan tinggi-tinggi, kuharap kalian bisa menjaga wanita kecil yang ada di antara kalian? jangan ada yang membuatnya terluka, kumohon. Dan... akhh...” nampak seseorang di dalam rekaman tersebut merintih memegangi dadanya. Perlahan tangannya mengambil sebuah tabung dari saku celana dan melahap kapsul yang ada di dalamnya.


“Aisshh... tiba-tiba sakit lagi. Huh! waktunya sudah tidak banyak sepertinya? Sepertinya aku langsung saja ke inti. Kalian ingat apa yang aku katakan? permintaan? ya... permintaan terakhir tepatnya. Kumohon kalian bisa menepatinya. Apakah kalian semua sedang menangis? kumohon jangan menangis. Aku tidak mau menjadi air mata kalian di saat aku tiada. Aku mau menjadi senyuman dan tawa bahagia kalian semua. Aku masih selalu berada di antara kalian. Jangan bersedih, jangan menangis, terus tersenyum dan jalani hidup kalian masing-masing tanpa sosok pria berpenyakitan seperti aku. Itu permintaanya, aku tidak mau melihat air mata lagi di antara kalian. Mungkin saat kalian menonton ini, aku sudah berada di tempat yang sepantasnya kkkk~ Sudah jangan bersedih! kalian sudah berjanji menepati permintaan tersebut. Aku mencintai kalian semua, Kris-ge, hyeong, Sehunnie, Heejung-ah. Kuharap kalian berbahagia suatu saat. Tidak sepertiku yang berpenyakitan. Jaga diri kalian semua! jangan lupa makan yang teratur! banyak istirahat dan yang terpenting jangan menangis lagi. Aku benci itu! Otte? Hmm... sepertinya sudah terlalu panjang. Mulutku sudah pegal berceloteh. Aku ingin istirahat dulu. Good bye, all. I love you, new family.”


Pip...


Siluet terang di layar datar berdurasi 10 menit tersebut telah mati. Lampu-lampu ruangan ini telah menyala kembali. Ke-empat insan yang ada di ruangan ini saling diam dalam pikirannya masing-masing. Sedih dan haru lebih mendominasi. Malam natal untuk mengenang sosok pria baik hati nan kuat dan selalu tersenyum, Do Kyungsoo.


***


“Menangis tidak menyelesaikan masalah. Tapi bagaimana mungkin aku tidak menangis akan kepergianmu. Kau pria kuat. Kau salah! akulah yang banyak belajar dari ketegaran hatimu. Berusaha terus tersenyum atas apa yang kau hadapi setiap harinya.” – Wu Yi Fan


“Saat ini air mata mengalir karena kepedihan atas kepergianmu. Untuk ke depannya, aku akan berusaha untuk tersenyum memenuhi permintaan terakhirmu. Bukankah pria memegang teguh perkataannya?” – Park Chanyeol


“Malam natal di bulan Desember. Malam dingin penuh dengan rasa sakit. Ribuan salju menyaksikannya. Bulir bening dari kelopak mata-pun mengiringinnya. Tapi akan aku usahakan, senyuman bahagia akan tersirat esok hari.” – Oh Sehun


“Rasanya dingin. Bahkan air mataku berubah menjadi es. Apakah kau tidak datang menghangatkanku. Mungkinkah jika aku tersenyum akan membuatmu datang kemari? Aku juga mencintaimu, si pendek yang selalu tersenyum.” – Bae Heejung


“Kesedihan, kepedihan, kesengsaraan, rasa sakit, tangisan dan air mata. Aku tidak menyukai semua itu. Aku lebih memilih untuk tersenyum. Satu senyuman yang membahagiakan semua orang. Satu senyuman agar semua orang tidak mengkhawtirkanku atau mengasihaniku.” – Do Kyungsoo


END


Tidak ada komentar:

Posting Komentar